"Sawalabrahmacari, tan parabi sedenging guru sewaka, kunang ikang sedegening agrehastan, marabya ta sira sakaharep, ndan putra wreddhi onira, wruha ta sireng puja sanggama, mwang kala desa, wihikan ta sira yogya bharyya yowanganira mreddhyaken putrasantana, mopabharyya kuwi, ndan rowagnira maputra, tan susila ambek nikang stri yowanganira, saji-saji arnnahnya, tuwinwruh ngiring I kala ning pasanggaman, mwang I kala ing singgahana pasanggamaika, tan tamtamsira ring sanggama, makanimitta wruhnira ri hala ning sakteng wisaya, apan hina sakti stri, dadi kang kamadasa". (Wratti Sasana, Sewala Brahmacari, hal, 12)
Terjemahan:
"Sawalabrahmacari ialah tak beristri waktu masih berguru, ketika sudah hidup berumah tangga, ia beristri lagi sekehendak hatinya, tujuannya ialah suapaya banyak mempunyai anak, ia memahami puja sanggama dan pertimbangan waktu dan tempat, dan tahu istri yang layak sebagai yang menyertainya mengembangkan anak-anak sebagai keturunannya, dan iapun mempunyai selir yang menyertainya untuk mendapatkan anak, bila istri pendampingnya bertingkah laku yang baik tanda ia benar-benar tahu menyertai pada waktu melakukan sanggama dan pada waktu menghindari sanggama ia tidak tenggelam dalam sanggama, sebab ia memahami bahayanya diperbudak oleh nafsu, karena bila sampai dikuasai kemelekatan pada istri akan mengakibatkan kamadosa, dosa karena nafsu."
Penjelasan :
Sawalabrahmacari ialah ketika ia dalam masa berguru atau menuntut ilmu atau mencari jati diri, ia tidak menikah, namun ketika ia memasuki masa berumah tangga, ia boleh memiliki banyak istri agar banyak memiliki keturunan, namun ia mesti mengetahu bagaimana melakukan senggama kepada istri-istrinya dan mengetahu pertimbangan tempat dan waktu dalam menggauli istri-istrinya, kapan dengan istri yang ini dan kapan dengan istri yang itu, dan ia tahu mana istri yang akan melahirkan anak yang kelak sebagai pewaris utamanya dan bersama-sama membesarkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang suputra, dan bila istri-istrinya merasa puas, tanda ia sudah benar dalam melakukan senggama dan sudah tepat serta sudah adil dalam membagi waktu dan tempat dengan istri-istrinya, namun meski ia beristri banyak tidak boleh ia berlandaskan nafsu, dalam artian mengikuti keinginan untuk berhubungan intim secara terus menerus karena semua sudah ada pembagiannya kapan bersama istri yang ini dan kapan bersama istri yang itu dan ia harus adil dan tidak boleh cenderung kepada salah satu istrinya saja, sebab jika ia terlalu mengikuti nafsu tanpa mengindahkan ketentuan dan pembagian dalam pertimbangan membagi tempat dan waktu bersama istri-istrinya, maka hal tersebut akan mengakibatkan dosa karena terlalu mengikuti hawa nafsu tanpa mengindahkan pertimbangan tempat dan waktu bersama istri-istrinya yang sudah ditentukan, selain itu bila ia tidak dapat berlaku adil atau memuaskan istri-istrinya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan rusaknya hubungan rumah tangganya.
Jadi, Jika seseorang memiliki banyak istri, ia mesti berlaku adil dan berusaha berbuat adil kepada istri-istrinya, serta memahami bagaimana melakukan senggama dan memahami pertimbangan waktu dan tempat dalam memberikan jatah kepada istri-istrinya dan berusaha memuaskan istri-istrinya dalam segala hal, serta bersama istri-istrinya membesarkan anak-anaknya menjadi anak yang suputra dan bersama-sama membangun rumah tangga yang baik, bila istri-istrinya sudah merasa puas, tanpa ia sudah berhasil dalam melakukan senggama bersama istri-istrinya dan tanda ia sudah benar dalam memberikan pembagian tempat dan waktu bersama istri-istrinya dan sudah berhasil dalam memberikan keadilan kepada istri-istrinya, meski beristri banyak, namun tidak boleh atas karena nafsu atau terlalu mengikuti nafsu, yang akhirnya malah melupakan tugas dan kewajibannya dan akhirnya malah melupakan pembangian pertimbangan tempat dan waktu bersama istri-istrinya. Bila beristri banyak, ia mesti berbuat adil seadil-adilnya, selebihnya biarlah istri-istrinya yang menilai keadilan yang sudah ia terapkan kepadanya.
"Savarnagre dvijatinam prasasta darakarmani,
kamatastu pravrttanam imah syuh kramasovarah"
(Manava Dharmasastra atau Veda Smerti, Perkawinan, hal. 94)
Terjemahan :
"Sebagai perkawinan: yang pertama dianjurkan kepada orang berdwijadi untuk mengawini wanita yang (sederajat) tetapi bagi mereka yang karena ingin mengawini wanita lain akan lebih baik sekali jika wanita itu sesuai menurut urutan warnanya"
Penjelasan :
Mengenai pernikahan se-Varna, bukan se-Kasta, dimana jika seseorang ingin mengawini wanita lain, maka lebih baik jika ia menikah hanya sekali saja dengan wanita yang Se- Varna (Sederajat)
seseorang yang sudah medwijadi, boleh mengawini wanita lain yang bukan sederajat, namun lebih baik bila ia menikah sekali saja dengan yang sederajat. sederajat disini dalam artian sama-sama dalam wangsa atau varna brahmana.
"Sudraiva bharya sudrasya sa ca sva ca visah smrte,
te ca sva caiva rajnasca tasca sva cagrajanmah"
(Manava Dharmasastra atau Veda Smerti, Perkawinan, Hal. 94)
Terjemahan :
"Telah dinyatakan bahwa hanya wanita sudra menjadi istri seorang seorang wanita sudra dan wanita vaisya, dari ketiga warna itu bersama wanita brahmana menjadi istri brahmana"
Penjelasan :
Seorang Brahmana boleh beristri empat dari masing-masing varna bila dikehendaki.
"na brahmana ksatryayor apadyapi hi tisthatoh,
kasmimscidapi crttante sudra bharyopadisyate"
(Manava Dharmasastra atau Veda Smerti, Perkawinan, Hal. 94)
Terjemahan :
"Seorang wanita sudra tak pernah disebut sebagai istri pertama seorang brahmana atau ksatrya sejak dahulu walaupun laki-laki ini hidup dalam kesengsaraan"
Penjelasan :
Seorang Brahmana harus mengawini wanita brahmana sebagai istri pertama, kemudian baru boleh mengawini istri kedua, ketiga dan keempat dari tiap-tiap warna berikutnya bila dikehendaki.
"Kresna-Brahmacari, ngaran-ira : marabi papat ta. Nghing hinganya tan parabi mwah. Siyapa kari pinaka darsaneng loka mangkana? Sanghyang Rudra sira pat dewi nira: Huma, Gangga, Ghori, Durgga. Nahan dewi cautr-bhagini tiniru de sang Kresna-Brahmacari. Ndan wruha ta sireng kaladesa ning stri sanggama. Mangkana krama sang brahmacari sowang-sowang".
(Slokantara 1, Kresna-Brahmacari)
Maaf, karena slokantara ini saya ambil dari terjemahan langsung tanpa disertai teerjemahan bahasa Indonesianya, jadi mohon maaf, saya sebagai penulis blog ini tidak bisa dan tidak berani mengarang-ngarang arti terjemahannya, namun saya coba memahami, sekaligus bertanya kepada para guru dan membaca dari refferensi sebelumnya yang kebetulan juga membahas slokantara ini, sehingga saya dapat memahami maksudnya, yaitu: Boleh beristri empat dan tidak lagi beristri selain ke-empat istrinya itu dan jika memiliki istri empat siapa yang dijadikan panutan dalam hal ini? adalah Sang Hyang Rudra yang memiliki empat dewi, yaitu Huma, Gangga, Ghori, Durga. Dan inilah yang dijadikan pedoman oleh yang melaksanakan Kreshna Brahmacari dan berdasarkan pertimbangan tempat dan waktu dalam melaksanakan senggama kepada masing-masing istrinya,dan bila juga dikehendaki atau telah terjadi kesepakatan sebelumnya antara suami dengan istri atau istri-istrinya untuk beristri empat.
Melihat dari beberapa refferensi Sloka-Sloka diatas baik dari Lontar Vrati Sasana, maupun Kitab Manava Dharmasastra atau Veda Smerti, menyatakan bahwa hindu menganut azaz perkawinan monogami yang membolehkan poligami, bila sama-sama mengkehendaki dan ini berlaku untuk semua kalangan, Jadi, dalam hindu poligami bukan dianjurkan, namun dibolehkan bila si mempelai pria(suami) dan mempelai wanita (istri dan calon istri atau istri-istri) sudah sama-sama setuju untuk menikahi istri yang kedua, ketiga, dst asalkan siap untuk berlaku adil kepada istri-istrinya.
Namun mengikuti ketentuan dalam brahmacari dalam kitab slokantara dan silakrama, sebenarnya tidak ada batas maksimal mengenai berapa maksimal boleh punya istri, namun mengikuti ketentuan dari lontar slokantara dimana, bagi yang menjalankan kreshna brahmacari atau beristri banyak, maka disarankan maksimal empat istri saja agar seperti Sang Hyang Rudra yang beristri empat, yaitu : Huma, Gangga, Ghori, dan Durgga. Yang dijadikan pedoman atau tuntunan bagi yang menjalani Kresna Brahmacari.
Kesimpulannya, dalam hindu menganut azaz monogami, namun membolehkan poligami dan berlaku untuk semua kalangan, tanpa terkecuali dan bila sebelumnya mempelai pria dan mempelai wanita sudah sama-sama setuju untuk beristri banyak dan suami siap dalam memberikan keadilan kepada istri-istrinya.
Maaf sebelumnya, saya bukannya menganjurkan saudara-saudara agar berpoligami, namun mengungkap realita yang sebenarnya bahwa poligami dalam hindu itu dibolehkan, namun bukan bersifat anjuran, asalkan dengan ketentuan, yaitu : dilakukan atas dasar kesepakatan bersama antara suami-istri atau istri-istri untuk beristri lebih dari satu dan suami siap berlaku adil se-adil-adilnya kepada istri-istrinya. Dan sebelum saya menulis artikel ini, sebelumnya saya mengheningkan diri terlebih dahulu dan mengosongkan pikiran saya, kemudian berdoa kepada-Nya mohon bimbingan-Nya agar tidak bingung dan agar bisa memahami makna dari setiap petikan sloka-sloka baik dalam lontar maupun kitab suci diatas, kemudian saya membaca perlahan-lahan dan memasrahkan diri menerima apapun makna sebenarnya dari sloka-sloka diatas dan merelakan bathin yang menilainya, kemudian juga sempat bertanya kepada guru suci dan didapatlah maksud slokanya seperti yang sudah saya jelaskan diatas.
Kemudian dari Sloka-Sloka tersebut juga akhirnya saya memahami bahwa sloka-sloka tersebut bukanlah perintah untuk berpoligami dan juga bukanlah anjuran, namun berupa sebuah tuntunan hidup berumah tangga bagi yang beristri banyak, mengenai bagaimana semestinyamenjalani kehidupan rumah tangga dengan banyak istri dengan ketentuan dari Slokantara yang menyarankan(bukan membatasi) jika ingin beristri lebih dari satu agar sebaiknya empat istri saja, agar seperti Sang Hyang Rudra yang memiliki empat dewi, kemudian darisana saya memahami bahwa ternyata adalah jika sudah terjadi kesepatakan sebelumnya antara suami-istri untuk beristri banyak dan suami siap untuk berusaha berlaku adil se-adil-adilnya kepada istri-istrinya dan tidak boleh cenderung kepada salah satu istrinya saja, selebihnya biarlah istri-istri yang menilai keadilan yang sudah kita berikan kepada mereka yang semuanya itu tujuannya agar menjadi keluarga poligami yang langgeng dan harmonis dalam rumah tangganya.
Demikian penjelasan mengenai sloka-sloka ini, semoga bermanfaat.
Terima Kasih
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar